Karamba Primadona Yang Jadi Dilema
Sebelum adanya budidaya ikan di Danau Maninjau yang lebih dikenal dengan Karamba Jala Apung atau KJA, mata pencaharian masyarakat pada umumnya lebih terfokus kepada nelayan tangkap dan pertanian. Selain dari dua profesi tersebut hanya ada beberapa yang bekerja sebagai PNS atau profesi lain seperti tukang atau buruh harian lepas.
Sebelum adanya KJA ini, kehidupan masyarakat di salingka danau lebih kepada pas-pasan kalaupun tidak dikategorikan miskin. Tidak banyak perubahan terhadap jorong dan nagari dari tahun ke tahun, tidak terlihat pembangunan yang signifikan terhadap rumah-rumah masyarakat, yang cenderung masih menghuni rumah yang sudah turun temurun mereka diami. Semua itu bukan karena tidak mau untuk memugarnya namun karena keterbatasan keuangan sehingga harus pasrah dengan hidup yang berada dibawah garis sejahtera.
Namun kondisi diatas perlahan-lahan mulai sirna. Sejak dimulainya budidaya ikan dengan sistim KJA ini. Secara berangsur-angsur kondisi ekonomi masyarakat salingka danau khususnya Koto Malintang dan Nagari Tanjung Sani yang menjadi awal terbentuknya kegiatan usaha ini mulai menggeliat. Dalam hitungan tahun saja, sudah banyak bermunculan Orang Kaya Baru. Tepatnya pada era 1995an, pemandangan sangat jauh dari satu dekade sebelumnya. Pada saat itu kita tidak lagi heran melihat mobil dan motor berjejer dipinggir jalan yang dahulunya merupakan barang langka bagi masyarakat serta mulainya sebahagian rumah-rumah lusuh dan reot berganti dengan bangunan megah dan kokoh.
Perubahan kehidupan 180º ini juga tidak terlepas dari dukungan semua pihak. Perbankan dengan mudahnya menggelontorkan dana melalui kredit ringan untuk mendukung kegiatan usaha ini. Pihak Pemerintah Kabupaten pun ikut andil dalam membina petani melalui dinas terkaitnya. Saat itu, Pemerintah seakan mendorong masyarakat untuk terus meningkatkan produktivitasnya dengan mencanangkan bahwa Maninjau sebagai sentra produksi ikan di Kabupaten Agam. Semua bereuforia dengan kemajuan perekonomian yang tengah terjadi.
Pada penghujung tahun1997, terjadilah untuk pertama kalinya kematian ikan massal yang dikenal oleh masyarakat dengan istilah tubo. Tubo memang akan terjadi pada saat tertentu. Hal ini tidak terlepas dari asal danau Maninjau sebagai danau vulkanik. Pada waktu-waktu tertentu akan ada komposisi belerang yang berlebih keluar dari dasar danau yang dapat mengakibatkan ikan-ikan yang ada mati kekurangan oksigen. Ribuan ton ikan KJA mati saat itu, kerugian milyaran rupiah diderita oleh petani.
Namun tidak lama setelah itu, para petani kembali menggeliat dengan KJA nya dan keuntungan yang diperoleh jauh lebih baik lagi sehingga hal ini kembali menjadi pemicu semua pihak untuk menggenjot produksi ikan di Danau Maninjau.
Setelah berjalan beberapa tahun, musibah tubo ini kembali terjadi dengan frekwensi yang mulai sering. Jika sebelumnya terjadi dalam kurun waktu 6 atau 7 tahun. Belakangan mulai makin cepat hingga hanya 1 atau 2 tahun saja, dengan kerugian bahkan sampai triliunan rupiah.
Pemerintah mulai mengantisipasi dengan melakukan kajian terhadap fenomena yang terjadi, danau Maninjau dinilai termasuk danau yang mengalami kerusakan cukup parah dan harus diselamatkan. Berbagai upaya terus dilakukan oleh semua pihak bahkan sampai pada dikeluarkannya peraturan untuk mengurangi jumlah KJA menjadi 6 ribu unit saja. Hal ini tentu menjadi pertentangan dengan masyarakat petani. KJA yang saat ini ditaksir berjumlah diatas 20 ribu unit harus dikurangi.
Kita tidak bisa menampik adanya perubahan mendasar yang terjadi terhadap Danau Maninjau, namun mengurangi KJA dengan jumlah yang signifikan juga bukan solusi yang bijak ditengah kemelut ekonomi yang terjadi belakangan ini.
Tingginya harga pakan serta kurangnya kenaikan berat ikan menambah merosotnya hasil panen masyarakat, sehingga mereka berpendapat kalau hanya dibatasi 6 ribu unit saja, maka keuntungan yang akan mereka peroleh tidak seberapa.
Melihat kondisi saat ini tentu kebijakan pemerintah baik itu eksekutif maupun legislatif sangat diharapkan. Khususnya legislatif sebagai perpanjangan aspirasi dari konstituennya serta pembuat regulasi, tentu sangat diharapkan keberadaannya demi dirumuskannya sebuah aturan yang saling menguntungkan kedua belah pihak baik pemerintah maupun masyarakat itu sendiri. Semoga saja hal ini bisa terwujud dan dapat menjembatani keinginan pemerintah dan kemauan masyarakat khususnya para petani KJA.
*Hfz*